Perjalanan 3 kilometer



Sore seperti biasa. Duduk dipojok belakang sebelah kanan bus kota. Memandangi langit sore yang hampir menjingga. Tak banyak yang bisa dilakukan, terkadang menyempatkan untuk membaca buku yang sengaja kusiapkan untuk menemani perjalanan, tapi terkadang hanya diam dan merenungkan apa saja yang bisa direnungkan. Selang beberapa menit, aku tidak sengaja mendengar kondektur  itu berbicara melalui handphone yang dibawanya, entah dengan siapa.
“koe mengko ngulon ora?” (kamu nanti ke barat tidak) demikian artinya secara perkata, apa maksudnya tapi?. jika dipahami maksudnya begini
“kamu nanti sampai terminal tidak?” yah seperti itu pemahamanku.
 “nek ngulon, aku ono siji mengko tulung gawanen” lanjut kernet itu.
kamus bahasa di otakku pun kembali bekerja mencoba memahami dan keluar hasilnya sebagai berikut
“kalau sampai terminal aku ada satu (penumpang) nanti tolong dibawa”. Dan ternyata yang dimaksud kernet itu aku, setelah bus berhenti dibelakang bus yang satunya, aku diminta turun oleh kondektur itu,
“mas tak barengke ngarepku yo!” katanya.
Aku tak sempat memahami secara penuh tapi yang jelas intinya aku dioper ke bus yang satunya karena sepertinya bus yang aku tumpangi tidak melanjutkan perjalanan dan memilih untuk pulang ke garasinya. Kemudian aku duduk dibelakang tapi tidak dipojok, kemudian bis itu melaju, belum ada satu kilometer bus itu tiba-tiba berhenti. Kupikir mau menurunkan penumpang, tapi ternyata salah satu rodanya bocor dan kempes. Kondekturnya terlihat brbincang dengan pak supir. Entah apa yeng dibicarakan karena mereka berbicara setengah berbisik, jadi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Pasti dioper lagi pikirku. Tapi ternyata tidak. Kernet dan supir itu turun dari bis dengan membawa dongkrak dan peralatan pendukung lainnya untuk mengganti roda. Sudah tentu dengan satu roda pennganti. Hah, firasat buruk menghampiriku, entah apa? Setelah selesai mengganti ban bus yang aku tumpangi kembali melaju, sampai disebuah pertigaan ternyata bus itu mengambil jalur kiri dan melaju lurus, aku buru-buru mendekati kondektur itu dan memintaku turun di sini saja, memang bus itu menuju terminal tapi tidak melewati jalur biasanya dan jika aku memaksa untuk ikut aku hanya akan memutar jauh dan tidak mungkin melewati rumahku. Ternyata ini firasat buruk tadi. Hah, sore yang tidak bersahabat. Setelah turun dari bus akupun masih dihadapkan pilihan untuk membeli pulsa lalu menghubungi kakakku, menggunakan jasa ojek, atau berjalan kaki. Tapi pertimbanganya jika aku memilih pilihan pertama dan kedua aku akan kehabisan uang untuk membeli pakan ikan dan ikan-ikanku seharian belum aku beri makan. Ya sudah aku putuskan untuk berjalan kaki saja, tiga kilometer tidaklah jauh. Tidak sejauh perjalanan umroh atau haji. Paling Cuma butuh waktu sekitar dua puluh menit lebih sedikit aku sudah sampai rumahku.
Pulsa habis, uang yang sudah dialokasikan, tidak ada yang bisa dilakukan selain terus berjalan dengan harapan ada tumpangan sampai rumah, perut kosong kerongkongan kering menambah nikmatnya perjalanan ini. karena bosan aku memutuskan untuk berdiskusi dengan pikiranku.
Tapi tidak mudah mengajak pikiranku berdiskusi karena seharian dijejali materi kuliah. Ya, aku mengerti pasti lelah setiap hari harus makan dengan  porsi yang sangat banyak.
“Hei pikiran kamu lelah tidak?” Aku mencoba mendekatinya. Dia masih diam. “Emh mau diskusi sesuatu tidak?” Masih diam.
Aku selalu harus sabar menantinya bergairah untuk diajak berdiskusi. Tapi itu bukan masalah karena dia juga selalu menungguku membuka mata untuk diajaknya berdiskusi sesuatu hal. Yang bahkan tidak penting. Tapi kami cukup dewasa untuk mengerti bahwa kami mempunyai kesamaan intensitas dalam memenuhi tugas kami masing-masing. Sehingga terkadang kami lelah dan harus beritirahat sejenak untuk mengembalikan stamina kami. Dan kembali menyelesaikan masalah bersama. Aku mencoba mencari topik apa yang sekiranya mampu membuatnya tertarik dan mendiskusikannya bersama. Lalu tiba-tiba terbersit topik yang aku anggap ampuh untuk membangunkannya.
“Kesempatan apa yang paling besar diberikan Tuhan pada kita?” Aku bertanya pada pikiranku,
“kesempatan untuk hidup” jawab pikiranku,
“Ha.ha.ha akhirnya kamu mau juga diajak bicara”
“kenapa bisa begitu?” , tanyaku lagi.
“Karena kesempatan hidup hanya sekali dan kita dituntut untuk memberikan seluruh kemampuan kita untuk memaknainya.
“kalau memang hidup harus dimaknai kenapa hanya diberi satu kesempatan hidup”? aku mencoba menggali lebih dalam penjelasan dari pikiranku, dia diam sejenak untuk berpikir 
“mungkin karena manusia adalah makhluk sempurna sehingga hanya diberi satu kesempatan, satu kesempatan untuk menjadi sempurna” jawab pikiranku.
“Tapi kalau hanya begitu binatang juga mempunyai kesempatan yang sama seperti manusia”? aku mencecar. “Mungkin”, gyahahaha, kami tertawa.
Sudahlah kita ganti topik saja, kilah pikiranku. Karena tidak ada yang bisa dimintai pendapat lagi, dan meluruskan diskusi, kami memutuskan untuk mengganti topik diskusi kami.
“Eh lihat ada seseorang yang sedang memenuhi kawajibannya”, kata pikiranku,
Mana? Gak ada kok aku mencoba mencari sumber yang dibicarakan pikiranku.
“Itu lho kakek itu”,
Sok tahu, dia Cuma disuruh untuk membersihkan rumput milik tetangganya, dan berani taruhan dia dibayar untuk itu. Kasian ya?!
“kasian?” Tanya pikiranku,
“dia melakukan apa yang dia bisa untuk keluarganya”.
“Bukan kasian itu kewajiban, kita tidak berhak mengasihani seseorang yang telah berusaha keras untuk memenuhi kewajibannya”.
“Kita seharusnya mencontohnya”. Sekarang aku bertanya. “sejauh ini apa yang kamu lakukan dengan apa yang kamu dapatkan dari kuliahmu?” Tanya pikiranku,
“eh pertanyaan macam apa itu?”. Aku memprotes.
“Ya sejauh ini kamu sekolah dan sepertinya belum mampu berbuat apa-apa” tegas pikiranku. “
“Ya memang aku sudah belajar banyak tapi aku belum mampu membuktikan apa-apa” tapi sepertinya aku tidak harus membuktikan apa-apa, ini hidupku dan aku punya kuasa penuh untuk hidupku”.
“sejauh aku tidak mengganggu orang lain sepertinya aku tidak perlu repot-repot membuktikan sesuatu”.
“Jangan sembarangan bicara!!!” hardik pikiranku dengan nada keras dan sedikit meninggi.
Aku terkejut jarang pikiranku berbicara seperti itu padaku, biasanya kami kompak dan jika berbedapun tidak pernah sekalipun dia meninggi seperti ini.
“iya ini hidupmu tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya, dia melanjutkan berbicara.
“dalam hidupmu banyak orang yang berlalu lalang, memberikan dukungan dan kekuatan, memangnya dari siapa kamu bisa sampai disini hari ini? Kita berdua sudah hidup cukup lama tapi memang masih kurang lama, karena masih ada banyak hal yang harus kita selesaikan, lakukan sesuatu untuk hidupmu bukan hanya untuk dirimu tapi untuk orang-orang yang selama ini menopangmu dan kelak dikemudian hari giliran kita berdua akan menopang generasi-generasi berikutnya”. Dan hidup yang hanya sekali ini akan kita penuhi dengan makna”.
Aku tertegun mendengar kuliah sore pikiranku. Semua yang dikatakannya tidaklah salah dan seperti membakar diriku. kupandangi deretan pegunungan menoreh dengan sinar jingga. merenungkan apa yang telah aku lakukan selama ini sepertinya memang belum mampu membuat orang-orang yang menopangku bangga sedikitpun. Kupejamkan mataku dan berdoa pada Tuhan, semoga kami mampu menyelesaikan semua ini dan memberikan makna dalam hidup ini. Seperti yang dikatakan pikiranku.
“Memaknai hidup, dengan satu kesempatan yang diberikan. Sesuatu yang sangat menantang bukan?”
“Dituntut kesabaran untuk mencapainya, bukan berarti tanpa kesalahan. Tapi belajar dari setiap kesalahan yang kita perbuat. Memahami setiap bagian kehidupan yang telah kita lalui”. Sepertinya itu juga yang dimaksudkan pikiranku. Tidak buruk, selalu menghasilkan. Pikiranku selalu memberikan pencerahan dari tiap bagian hidupku.
Tanpa kami sadari kami sudah sampai didepan rumah, “ketawa sendiri kaya orang gila” kakakku menyapaku. Dia sedang bersih-bersih bengkel
“eh kamu tadi sms?” Tanya kakakku.

“Engga”
“Aku jalan kaki lumayan untuk kesehatan jantung.”
Kemudian kami langsung menuju dapur dan dua gelas air cukup untuk membasahi kerongkonganku. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal kami, sejauh perjalanan tadi. kok gak ada tumpangan ya? Ha.ha.ha.ha kami tertawa bersama.



Posting Komentar

0 Komentar