Sore
seperti biasa. Duduk dipojok belakang sebelah kanan bus kota. Memandangi langit
sore yang hampir menjingga. Tak banyak yang bisa dilakukan, terkadang
menyempatkan untuk membaca buku yang sengaja kusiapkan untuk menemani perjalanan,
tapi terkadang hanya diam dan merenungkan apa saja yang bisa direnungkan.
Selang beberapa menit, aku tidak sengaja mendengar kondektur itu berbicara melalui handphone yang
dibawanya, entah dengan siapa.
“koe
mengko ngulon ora?” (kamu nanti ke barat tidak) demikian artinya secara
perkata, apa maksudnya tapi?. jika dipahami maksudnya begini
“kamu
nanti sampai terminal tidak?” yah seperti itu pemahamanku.
“nek ngulon, aku ono siji mengko tulung
gawanen” lanjut kernet itu.
kamus
bahasa di otakku pun kembali bekerja mencoba memahami dan keluar hasilnya
sebagai berikut
“kalau
sampai terminal aku ada satu (penumpang) nanti tolong dibawa”. Dan ternyata
yang dimaksud kernet itu aku, setelah bus berhenti dibelakang bus yang satunya,
aku diminta turun oleh kondektur itu,
“mas
tak barengke ngarepku yo!” katanya.
Aku
tak sempat memahami secara penuh tapi yang jelas intinya aku dioper ke bus yang
satunya karena sepertinya bus yang aku tumpangi tidak melanjutkan perjalanan
dan memilih untuk pulang ke garasinya. Kemudian aku duduk dibelakang tapi tidak
dipojok, kemudian bis itu melaju, belum ada satu kilometer bus itu tiba-tiba
berhenti. Kupikir mau menurunkan penumpang, tapi ternyata salah satu rodanya
bocor dan kempes. Kondekturnya terlihat brbincang dengan pak supir. Entah apa
yeng dibicarakan karena mereka berbicara setengah berbisik, jadi aku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas. Pasti dioper lagi pikirku. Tapi ternyata tidak.
Kernet dan supir itu turun dari bis dengan membawa dongkrak dan peralatan
pendukung lainnya untuk mengganti roda. Sudah tentu dengan satu roda pennganti.
Hah, firasat buruk menghampiriku, entah apa? Setelah selesai mengganti ban bus
yang aku tumpangi kembali melaju, sampai disebuah pertigaan ternyata bus itu
mengambil jalur kiri dan melaju lurus, aku buru-buru mendekati kondektur itu
dan memintaku turun di sini saja, memang bus itu menuju terminal tapi tidak
melewati jalur biasanya dan jika aku memaksa untuk ikut aku hanya akan memutar
jauh dan tidak mungkin melewati rumahku. Ternyata ini firasat buruk tadi. Hah,
sore yang tidak bersahabat. Setelah turun dari bus akupun masih dihadapkan
pilihan untuk membeli pulsa lalu menghubungi kakakku, menggunakan jasa ojek,
atau berjalan kaki. Tapi pertimbanganya jika aku memilih pilihan pertama dan kedua
aku akan kehabisan uang untuk membeli pakan ikan dan ikan-ikanku seharian belum
aku beri makan. Ya sudah aku putuskan untuk berjalan kaki saja, tiga kilometer
tidaklah jauh. Tidak sejauh perjalanan umroh atau haji. Paling Cuma butuh waktu
sekitar dua puluh menit lebih sedikit aku sudah sampai rumahku.
Pulsa
habis, uang yang sudah dialokasikan, tidak ada yang bisa dilakukan selain terus
berjalan dengan harapan ada tumpangan sampai rumah, perut kosong kerongkongan
kering menambah nikmatnya perjalanan ini. karena bosan aku memutuskan untuk
berdiskusi dengan pikiranku.
Tapi
tidak mudah mengajak pikiranku berdiskusi karena seharian dijejali materi
kuliah. Ya, aku mengerti pasti lelah setiap hari harus makan dengan porsi yang sangat banyak.
“Hei
pikiran kamu lelah tidak?” Aku mencoba mendekatinya. Dia masih diam. “Emh mau
diskusi sesuatu tidak?” Masih diam.
Aku
selalu harus sabar menantinya bergairah untuk diajak berdiskusi. Tapi itu bukan
masalah karena dia juga selalu menungguku membuka mata untuk diajaknya
berdiskusi sesuatu hal. Yang bahkan tidak penting. Tapi kami cukup dewasa untuk
mengerti bahwa kami mempunyai kesamaan intensitas dalam memenuhi tugas kami
masing-masing. Sehingga terkadang kami lelah dan harus beritirahat sejenak
untuk mengembalikan stamina kami. Dan kembali menyelesaikan masalah bersama.
Aku mencoba mencari topik apa yang sekiranya mampu membuatnya tertarik dan
mendiskusikannya bersama. Lalu tiba-tiba terbersit topik yang aku anggap ampuh
untuk membangunkannya.
“Kesempatan
apa yang paling besar diberikan Tuhan pada kita?” Aku bertanya pada pikiranku,
“kesempatan
untuk hidup” jawab pikiranku,
“Ha.ha.ha
akhirnya kamu mau juga diajak bicara”
“kenapa
bisa begitu?” , tanyaku lagi.
“Karena
kesempatan hidup hanya sekali dan kita dituntut untuk memberikan seluruh
kemampuan kita untuk memaknainya.
“kalau
memang hidup harus dimaknai kenapa hanya diberi satu kesempatan hidup”? aku
mencoba menggali lebih dalam penjelasan dari pikiranku, dia diam sejenak untuk
berpikir
“mungkin
karena manusia adalah makhluk sempurna sehingga hanya diberi satu kesempatan,
satu kesempatan untuk menjadi sempurna” jawab pikiranku.
“Tapi
kalau hanya begitu binatang juga mempunyai kesempatan yang sama seperti
manusia”? aku mencecar. “Mungkin”, gyahahaha, kami tertawa.
Sudahlah kita ganti topik saja, kilah
pikiranku. Karena tidak ada yang bisa dimintai pendapat lagi, dan meluruskan
diskusi, kami memutuskan untuk mengganti topik diskusi kami.
“Eh lihat ada seseorang yang sedang
memenuhi kawajibannya”, kata pikiranku,
Mana? Gak ada kok aku mencoba mencari
sumber yang dibicarakan pikiranku.
“Itu lho kakek itu”,
Sok tahu, dia Cuma disuruh untuk
membersihkan rumput milik tetangganya, dan berani taruhan dia dibayar untuk
itu. Kasian ya?!
“kasian?”
Tanya pikiranku,
“dia
melakukan apa yang dia bisa untuk keluarganya”.
“Bukan
kasian itu kewajiban, kita tidak berhak mengasihani seseorang yang telah
berusaha keras untuk memenuhi kewajibannya”.
“Kita
seharusnya mencontohnya”. Sekarang aku bertanya. “sejauh ini apa yang kamu lakukan
dengan apa yang kamu dapatkan dari kuliahmu?” Tanya pikiranku,
“eh
pertanyaan macam apa itu?”. Aku memprotes.
“Ya
sejauh ini kamu sekolah dan sepertinya belum mampu berbuat apa-apa” tegas
pikiranku. “
“Ya
memang aku sudah belajar banyak tapi aku belum mampu membuktikan apa-apa” tapi
sepertinya aku tidak harus membuktikan apa-apa, ini hidupku dan aku punya kuasa
penuh untuk hidupku”.
“sejauh
aku tidak mengganggu orang lain sepertinya aku tidak perlu repot-repot
membuktikan sesuatu”.
“Jangan
sembarangan bicara!!!” hardik pikiranku dengan nada keras dan sedikit meninggi.
Aku
terkejut jarang pikiranku berbicara seperti itu padaku, biasanya kami kompak
dan jika berbedapun tidak pernah sekalipun dia meninggi seperti ini.
“iya
ini hidupmu tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya, dia melanjutkan berbicara.
“dalam
hidupmu banyak orang yang berlalu lalang, memberikan dukungan dan kekuatan,
memangnya dari siapa kamu bisa sampai disini hari ini? Kita berdua sudah hidup
cukup lama tapi memang masih kurang lama, karena masih ada banyak hal yang
harus kita selesaikan, lakukan sesuatu untuk hidupmu bukan hanya untuk dirimu
tapi untuk orang-orang yang selama ini menopangmu dan kelak dikemudian hari
giliran kita berdua akan menopang generasi-generasi berikutnya”. Dan hidup yang
hanya sekali ini akan kita penuhi dengan makna”.
Aku
tertegun mendengar kuliah sore pikiranku. Semua yang dikatakannya tidaklah
salah dan seperti membakar diriku. kupandangi deretan pegunungan menoreh dengan
sinar jingga. merenungkan apa yang telah aku lakukan selama ini sepertinya
memang belum mampu membuat orang-orang yang menopangku bangga sedikitpun. Kupejamkan
mataku dan berdoa pada Tuhan, semoga kami mampu menyelesaikan semua ini dan
memberikan makna dalam hidup ini. Seperti yang dikatakan pikiranku.
“Memaknai
hidup, dengan satu kesempatan yang diberikan. Sesuatu yang sangat menantang
bukan?”
“Dituntut
kesabaran untuk mencapainya, bukan berarti tanpa kesalahan. Tapi belajar dari
setiap kesalahan yang kita perbuat. Memahami setiap bagian kehidupan yang telah
kita lalui”. Sepertinya itu juga yang dimaksudkan pikiranku. Tidak buruk,
selalu menghasilkan. Pikiranku selalu memberikan pencerahan dari tiap bagian
hidupku.
Tanpa
kami sadari kami sudah sampai didepan rumah, “ketawa sendiri kaya orang gila”
kakakku menyapaku. Dia sedang bersih-bersih bengkel
“eh
kamu tadi sms?” Tanya kakakku.
“Engga”
“Aku
jalan kaki lumayan untuk kesehatan jantung.”
Kemudian
kami langsung menuju dapur dan dua gelas air cukup untuk membasahi
kerongkonganku. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal kami, sejauh perjalanan
tadi. kok gak ada tumpangan ya? Ha.ha.ha.ha kami tertawa bersama.
0 Komentar